Gangguan Stress Pasca Trauma
PTSD (post-traumatic stress disorder) atau gangguan stres pascatrauma adalah kondisi kejiwaan yang dipicu oleh kejadian tragis yang pernah dialami atau disaksikan. Contoh peristiwa traumatis yang dapat memicu kondisi ini adalah kecelakaan lalu lintas, bencana alam, tindak kejahatan seperti pemerkosaan atau perampokan, atau pengalaman di medan perang.
Jika Anda memiliki gejala Post-Traumatic Stress Disorder gangguan stres pasca-trauma (PTSD) atau berisiko mengalami kondisi ini, temui seorang profesional kesehatan mental yang berkualitas yang memiliki pengalaman merawat pasien dengan PTSD. Diagnosis didasarkan pada laporan Anda memiliki riwayat pasca trauma yang mengancam jiwa atau kekerasan. Penyedia perawatan kesehatan akan mengajukan pertanyaan tentang gejala-gejala; meminta Anda untuk menggambarkan peristiwa traumatis; bertanya tentang masa kecil Anda, pendidikan, dan pengalaman bekerja; dan bagaimana Anda berhubungan dengan orang lain.
PTSD termasuk kategori gangguan kecemasan yang membuat penderitanya tidak bisa melupakan atau sebaliknya tidak mau mengingat pengalaman traumatis tersebut, serta berpikir negatif terhadap diri sendiri dan dunia sekitarnya. Kondisi ini umumnya ditandai dengan mimpi buruk, merasa terisolir, kesal, memiliki perasaan bersalah, sulit berkonsentrasi, serta sulit tidur atau insomnia.
Kendati demikian, tidak semua orang yang mengalami trauma otomatis akan mengidap PTSD. Gangguan mental ini diperkirakan berkembang pada 30 persen di antara orang-orang yang pernah mengalami kejadian traumatis.
Penyebab dan Faktor Pemicu PTSD
​
* Pernah mengalami peristiwa trauma lain, misalnya penyiksaan saat masa kecil.
* Mengidap gangguan mental lain.
* Mengalami trauma jangka panjang.
* Memiliki anggota keluarga yang mengidap PTSD atau gangguan mental lain.
* Memiliki profesi yang berpotensi menyebabkan seseorang untuk mengalami kejadian traumatis, misalnya tentara.
* Kurang dukungan dari keluarga dan teman.
​
Hingga saat ini, penyebab pasti PTSD belum diketahui secara pasti. Kendati demikian, terdapat dugaan tentang beberapa kondisi yang dapat menyebabkan gangguan stres pascatrauma ini, yaitu:
​
* Tingkat hormon stres yang tidak normal. Dalam keadaan bahaya, tubuh mengeluarkan hormon stres adrenalin untuk memicu reaksi dari dalam tubuh. Reaksi tersebut berupa melawan atau menghindar guna mengatasi bahaya atau rasa sakit. Dalam kondisi PTSD, kadar hormon stres yang dikeluarkan sangat tinggi meski kondisi sebenarnya tidak membahayakan. Hal tersebut terjadi karena terpicu emosi yang dibangkitkan dari pengalaman traumatis.
​
* Mekanisme perlindungan diri. Dalam kondisi PTSD, ingatan traumatis membuat kita bereaksi terlalu cepat sebagai upaya perlndungan diri. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya bahaya kembali di lain waktu.
​
* Anatomi otak yang tidak normal. Saat mengalami PTSD, bagian otak yang bertanggung jawab terhadap ingatan dan emosi (hipokampus) terlihat berukuran lebih kecil dibanding bagian otak lain. Perbedaan ini diduga berkaitan dengan meningkatnya kegelisahan dan ketakutan. Fungsi hipokampus yang tidak dapat berjalan semestinya membuat tingkat kegelisahaan atau ketakutan tidak berkurang seiring waktu.
Prevensi atau Tindakan Pencegahan PTSD
​
Mencegah terjadinya PTSD dapat dilakukan dengan debriefing (pembekalan psikologis, kadangkala disebut traumatologi atau konseling duka cita), yaitu dengan sesi wawancara yang segera dilakukan setelah peristiwa traumatis terjadi. Wawancara ini dimaksudkan untuk membantu mengatasi respon emosional individu terhadap trauma dan mencegah perkembangan PTSD, termasuk mendorong individu untuk berbicara mengenai kejadian traumatis dan reaksi emosional merekasecara rinci dan sistematis. Wawancara ini diperkirakan dapat membantu pengintegrasian ingatan kejadian ke dalam sistem memori umum. Saat ini, pembekalan dilakukan secara teratur setelah terjadinya pengalaman traumatis, meskipun meningkatnya pertanyaan mengenai efektivitas pembekalan ini.
​
Penelitian melaporkan bahwa resiko pengembangan PTSD hampir dua kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak menerima intervensi. Artinya, debriefing tampaknya menghambat jangka panjang pemulihan dari trauma psikologis. Terdapat beberapa spekulasi mengenai hal ini, diantaranya:
​
* 'Trauma sekunder' dapat terjadi sebagai akibat dari paparan imaginal yang lebih jauh mengenai kejadian traumatis dalam jangka waktu yang singkat.
​
* Debriefing dapat 'mengobati' distress normal, dan meningkatkan harapan berkembangnya gejala psikologis pada individu yang justru tidak melakukan pembekalan.
​
* Debriefing dapat mencegah potensi respon perlindungan yang berupa respon penolakan dan respon menjauhkan yang mungkin terjadi segera setelah terjadinya kejadian traumatis.